1. Home
  2. Docs
  3. FAQ Tasawuf
  4. Wawasan
  5. Tawassul

Tawassul

image_pdfimage_print

Tawassul secara harfiah berarti sesuatu yang dapat mendekatkan dengan lainnya. Tradisi tawassul ini dalam dunia tasawuf berlandaskan al-Qur’an surat al-Maidah, ayat 35 dan surat at-Taubah, ayat 119.

يَـٰٓأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِىْ سَبِيْلِهٖۦلَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan dirimu (wasilah) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.” (al-Maidah: 35)

يَـٰٓأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰـدِقِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (at-Taubah: 119)

Tawassul dan Wasilah merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jalan itu adalah Al-Qur’an, As-Sunnah (Sunat-sunat Rasul Allah) dan ijma umat Islam sebelum munculnya berbagai bentuk bid’ah.

Syekh Abdul Karim Muhammad Al-Mudarris menafsirkan al-wasilah dalam surat al-Maidah, ayat 35 itu meliputi tawassul kepada orang yang masih hidup dan telah mati, tawassul dengan amal-amal shalih dan tawassul lainnya yang dibenarkan menurut syara’ (hukum Islam).

Mengenai tawassul kepada yang telah mati, selain berdasarkan ayat 169 surat al-Imran juga berdasarkan penafsiran atas peristiwa mi’raj Nabi Muhammad Saw sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir (dalam dunia tasawuf manusia yang beriman tidaklah mati akan tetapi berpindah dari dunia fana ke alam baqa seperti dinyatakan Al-Qur’an surat ke-3 Ali ‘Imran ayat 169 yang artinya, “Janganlah kamu menyangka bahwa orang-orang yang gugur pada jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup (mendapat kehormatan) dari Tuhannya, dengan diberi rizki”).

Ketika Nabi Mi’raj, demikian menurut Abah Anom dalam menjelaskan pendapat Ibnu Katsir tersebut, ia mendapat ucapan selamat datang dari Nabi terdahulu sewaktu menyampaikan salam kepadanya. Setelah itu, Nabi Muhammad mendapat penjelasan bahwa di antara tanaman surga itu ialah ucapan:

لَاحَـوْلَ وَلَاقُـوَّةَ إِلَّابِاللّٰهِ الْعَـلِيِّ الْعَظِـيْمِ

Lā hawla walā quwwata illā billāhil ‘aliyyil ‘azhīm. (Tiada daya dan kekuatan kecuali milik Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim berpesan kepada Nabi Muhammad dengan kalimat sebagai berikut:

اَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّى السَّلٰمَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الْجَنَّةَ طِيْبَةُالتُرْبَةِعُذْبَةُ الْمَاءِوَأَنَّغُرَّاسَهَاسُبْحَانَ اللّٰهِ وَالْحَمْدُلِلّٰهِ وَلَاحَـوْلَ وَلَاقُـوَّةَ إِلَّابِاللّٰهِ الْعـَلِيِّ الْعَظِـيْمِ

“Sampaikan salamku untuk umatmu. Beritahukanlah kepada mereka bahwa surga itu baik sekali, airnya jernih dan menyegarkan. Sedangkan tanamannya ialah: Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) Subhanallāh (Maha Suci Allah) lā hawla walā quwwata illā billāhil ‘aliyyil ‘azhīm (tiada daya dan upaya kecuali karena Allah yang Maha Agung).”

Setelah itu, Nabi bertemu dengan Nabi Musa dan ia bertanya kepada Nabi, “Ya Muhammad, apa yang difardhukan Allah kepada umatmu?” Nabi berkata, “Mereka diwajibkan salat lima puluh kali.” Musa berkata, “Kembalilah Muhammad kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan bagi umatmu. Umatmu tidak mungkin dapat melaksanakan tugas tersebut. Umatku pun, Bani Israil, tidak kuat memikul kewajiban tersebut.” Nabi kembali kepada Allah untuk meminta keringanan sehingga akhirnya umat Muhammad hanya diwajibkan melaksanakan salat fardhu lima kali sehari semalam.

Peristiwa di atas ditafsirkan oleh Abah Anom sebagai suatu kenyataan sejarah bahwa orang yang telah meinggal, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Musa dapat berhubungan (bertawassul) dengan orang yang masih hidup. Bahkan menitipkan salam serta memberikan petunjuk. Atas dasar inilah, maka tawassul kepada yang telah wafat mempunyai landasan yuridis dan historis.

Adapun tawassul yang disunatkan – ada dalam Sunnah Nabi – seperti yang diriwayatkan dalam hadits Utsman bin Hunaif. Ia menceritakan bahwa seorang yang buta datang kepada Nabi dan meminta agar Nabi mendo’akannya serta berdo’a kepada Allah agar penyakitnya sembuh. Rasul bersabda, “Apabila engkau ingin sembuh berdo’alah atau bersabarlah lebih baik bagimu.” Orang itu berkata, “Do’akanlah Rasul!” Maka Nabi menyuruhnya untuk berwudhu dan salat dua rakaat serta mengucapkan do’a:

أَللّٰهُـمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ نَبَىَّ الرًّحْمَةِ . يَارَسُوْلُ اللّٰهِ إِنِّى تَوَجَّهَتُ بِكَ إِلَى رَبِّى فِى حَاجَتِى هُلِ هِلِتَقْضِىَ أَللّٰهُـمَّ فَشَفِّعْهُ فِىَ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu – dan aku menghadap-Mu – melalui Nabi-Mu Saw, Nabi pembawa rahmat. Ya Rasul Allah, sesungguhnya aku menghadap Allah denganmu untuk memenuhi hajatku ini agar dapat dikabulkan. Ya Allah, syafa’atilah aku bersama Nabi.”

Contoh di atas menunjukkan landasan hukum tawassul kepada Nabi Muhammad saw, bahkan dalam hadits Abi Sa’id al-Khudzriyy ra. dikatakan ada do’a yang berbunyi:

أَللّٰهُـمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ بِحَقِّ اسَّا ئِلِيْنَ عَلَيْكَ

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak para peminta…”

Hadits di atas menunjukan dasar hukum tawassul kepada semua kaum muslimin secara umum, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Adapun tawassul kepada para Nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup maupun yang sudah wafat telah berjalan dari generasi ke generasi. Oleh karen ada lembaga tawassul inilah kita memperoleh pengetahuan Islam ini. Kita memperoleh ilmu agama ini dari generasi ke generasi. Kiranya, atas dasar itulah dan hadits di bawah ini para ulama yang arif berkata:

كُنْ مَعَ اللّٰهِ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَكُنْ مَعَ مَنْ كَانَ مَعَ اللّٰهِ فَإِنَّهٗ يُوْصِلُكَ إِلَى اللّٰهِ

“Hendaklah engkau bersama Allah. Apabila engkau tidak dapat bersama Allah maka hendaklah engkau bersama orang-orang yang bersama Allah. Karena ia dapat menghubungkanmu kepada Allah.”

Apakah ini cukup membantu? Yes No

Perlu bantuan?