1. Home
  2. Docs
  3. FAQ Tasawuf
  4. Wawasan
  5. Zuhud

Zuhud

image_pdfimage_print

Zuhud selama ini diartikan meninggalkan dunia untuk akhirat. Karena zuhud diartikan seperti itu, maka sering kali kaum sufi dan pengamal tarekat dianggap tidak mementingkan kehidupan duniawi. Akibat faham tersebut membawa kepada kemunduran Islam dan umatnya, terbelakang dan miskin.

Abah Anom berpendapat bahwa pemahaman seperti ini merupakan pemahaman yang keliru. Akibat kekeliruan paham tersebut, maka seorang sufi digambarkan sebagai seorang yang berpakaian compang-camping dan kehidupannya bersahaja.

Untuk menolak pandangan seperti di atas dengan mengutip pendapat Sufyan al-Tsauri, Abah Anom mengatakan bahwa zuhud berarti qasr al-‘amal, yaitu pendek angen-angen (Sunda), tidak banyak menghayal dan bersikap realistis. Zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan bukan pula berpakaian compang-camping.

Kezuhudan seseorang tidak terletak pada kesederhanaan pakaian dan makanan. Akan tetapi, terletak kepada kezuhudan qalbunya. Pertama-tama seorang sufi harus bersih hatinya. Kebersihan tersebut membawa kebersihan dan kesucian lahrinya. Seorang sufi harus bersih sirr, qalb, nafs dan jawarih. Begitu juga, jasad dan seluruh anggota badannya.

Abah Anom berpendapat bahwa perintah zuhud terdapat dalam Al-Qur’an surat al-Munafiqun, ayat 9. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

يَـٰٓأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَآ أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِاللّٰهِ ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَأُولٰـئِكَ هُمُ الْخٰـسِرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)

Adapun orang yang zuhud (zahid) dijelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nur ayat 37, yang berbunyi:

رِجَالٌ لَّا تُلْهِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَّلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِاللّٰهِ وَإِقَامِ الصَّلٰوةِ وَإِيْتَآءِ الزَّكٰوةِ ۙ يَخَافُوْنَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيْهِ الْقُلُوْبُ وَالْأَبْصَارُ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah dan (dari) mendirikan salat (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.” (An-Nur: 37)

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa zuhud bukan berarti seseorang harus meninggalkan duniawi melainkan harus menguasai dan mengendalikan kehidupan duniawi serta qalbunya bergantung kepada akhirat. Dengan kata lain seorang zahid ialah orang yang dapat mengendalikan harta dan kekayaannya agar menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berhidmat kepada Allah Swt semata. Hal tersebut sesuai dengan perkataan Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang berbunyi sebagai berikut:

وَاقْعِدُوانُفُوْسَكُمْ هَعَ الدُّ نْيَاوَقُدُوْبَكُمْ مَعَ الْاُخْرَى وَأَسْرَارَكُمْ مَعَ الْمَوْلَى

“Duduklah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan qalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Tuhanmu.”

Dengan demikian, seseorang yang hidup zuhud tidak akan kena ancaman Allah Swt. Ancaman tersebut digambarkan dalam Al-Qur’an surat al-Kautsar dan surat al-Khumazah. Sebaliknya, jika ia seorang yang bertaqwa akan berada seperti gambaran surat al-Baqarah ayat 1 sampai 4, yakni orang yang beriman terhadap yang gaib, melaksanakan salat, menginfaq-kan sebagian rizkinya, beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Nabi dan sebelumnya, serta yakin akan adanya akhirat.

Apakah ini cukup membantu? Yes No

Perlu bantuan?