Bai’at adalah sumpah setia seorang hamba untuk bertauhid kepada Allah serta mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pada awalnya ketaatan seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya itu karena ia merasa terikat oleh bai’at mursyidnya. Ia merasa diawasi oleh mursyidnya itu. Akan tetapi pada tahap berikutnya ketaatan itu meningkat sehingga ketaatannya itu timbul bukan karena semata-mata merasa mendapat pengawasan langsung dari malaikat. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Infitar ayat 10 – 12, surat Qaf ayat 18.
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi pekerjaanmu. Yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat pekerjaan-pekerjaanmu itu, mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Infitar: 10 – 12)
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)
Tahap berikutnya si hamba akan merasakan dirinya selalu diawasi, dilihat dan diketahui Allah. Demikian pula segala tindak-tanduknya, baik yang ia rahasiakan atau yang tidak ia merasa bahwa semuanya itu diketahui Allah. Keadaan seperti itu sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-‘Alaq ayat 14, surat Taha ayat 46 dan surat as-Syu’ara ayat 218.
“Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.” (al-‘Alaq: 14)
“Allah berfirman: ‘Janganlah kamu berdua khawatir sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat’.” (Taha 46)
“Yang melihat kamu ketika berdiri (untuk salat).” (as-Sy’ara: 218)
Sesuai dengan petunjuk al-Qur’an tersebut di atas, Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa rasa malu itu sebagian daripada iman.
Begitu pula sabda Nabi kepada Jibril, “Bagiku sudah cukup apabila Allah mengetahui keadaanku.”